Senin, 15 Juni 2009

Tafsir tentang Tuduhan terhadap Aisyah ra

Tafsir
Peristiwa di tahun kelima Hijriah
Tuduhan terhadap Aisyah ra

Tafsir
Buku tafsir :
1. Al quran dan tafsirnya / Universitas Islam Indonesia.-- Yogyakarta : Universitas Islam indonesia, 1995.
Vol.6 ; hlm 601 - 606.
Surat an Nur ayat 11
Terjemah :
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia lebih baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.

Tafsir
Sesudah Allah SWT menerangkan tentang hukum orang-orang yang menuduh perempuan lain berzina, dan hokum suami yang menuduh isterinya berzina, maka pada ayat berikut ini yaitu sebanyak sepuluh ayat Allah SWT menerangkan mengenai kebersihan isteri Rasulullah saw Siti ‘Aisyah Ummul Mukminin dari berita bohong yang difitnahkan kepadanya oleh orang-orang munafik, untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan Rasululahsaw.

Ayat (11)
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang yang menyiarkan berita bohong yang dilancarkan ke rumah tangga Rasulullah saw itu, sebenarnya dari kalangan kaum Muslimin sendiri, sebagaimana diketahui bahwa setelah junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw kembali dari gazwah Murazaik bersama pasukannya pada bulan Sya’ban tahun ke lima hijriah, tersiarlah suatu berita bohong yang unik sekali yang ditunjukan kepada rumah tangga Rasululah saw yang dikenal dengan ‘Hadisul ifki”. Berita bohong ini mengenai isteri Rasulullah saw ‘Aisyah ra. Ummul Mukminin, sehabis perang dengan Bani Mustaliq bulan Sya’ban 5 H. Peperangan itu, diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi saw berdasarkan undian yang diadakan antara steri-isteri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah keluar dari sekedup ( tempat duduk di atas unta ) untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah mengetahui sekedupnya telah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya, dalam keadaan demikian diapun tertidur kemudian lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi Safwan bin Mu’attal diketemukannya seseorang yang sedang tidur sedirian dan dia terkejut seraya mengucapkan : “Inna lillahi wa inna lillahi raaji’un, isteri Rasul ! “ ‘Aisyah terbangun lalu dipersilahkan oleh Safwan mengendarai untanya. Safwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakan menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya, maka fitnahan atas ‘Aisyah ra. Itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan dikalangan kaum Muslimin.
Alah SWT, menghibur hati mereka, agar mereka jangan menyangka bahwa peristiwa itu buruk dan merupakan bencana bagi mereka, tetapi pada hakikatnya pada kejadian itu adalah suatu hal yang baik bagi mereka karena dengan kejadian itu, mereka akan memperoleh pahala besar dan kehormatan dari Allah SWT. Dengan diturunkannya Al Quran yang menyatakan kebersihan mereka dari berita bohongitu, suatu bukti autentik yang dapat dibaca sepanjang masa. Setiap orang yang menyebarkan berita bohong itu akan mendapat balasan, sesuai dengan usaha dan kegiatannya tentang tersiar luasnya berita bohong itu. Sedang orang yang menjadi sumber pertama dan menyebar luaskan berita bohong ini, ialah Abdulah bin Ubay bin Salul, sebagai salah satu seorang tokoh munafik yang tidak jujur, sedang di akhirat kelak akan diazab dengan azab yang pedih. Dosa semua orang yang turut dan ikut menyebar luaskan berita bohong itu akan terpikul juga di atas pundaknya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
Artinya: “Barang siapa yang mengadukan perbuatan buruk dan ada yang mengikutinya, maka dosa perbuatannya itu akan dipikulnya bersama dosa orang-orang yang melakukan perbuatan buruk itu tanpa dikurangi sedikitpun”.351)


Ayat (12)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan(mengapa tidak) berkata : “ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.

Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia mencela tindakan orang-orang mukmin yang mendengar berita bohong itu yang seakan-akan mempercayainya. Mengapa mereka itu tidak menolak finahan itu secara spontan?. Mengapa mereka itu tidak mendahulukan baik sangkanya ?. Iman mereka, semestinya membawa mereka untuk berbaik sangka, dan mencegah mereka berburuk sangka kepada sesama orang mukmin, karena baik atau buruk sesame mukmin, pada hakikatnya adalah juga baik atau buruk juga bagi dia sendiri sebagaiman firman Allah SWT :
Artinya : Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. 352)

Maksudnya, janganlah orang mukmin mencela sesame orang mukmin, karena orang mukmin itu seperti satu badan.
Rasululah sendiri mencegah para sahabat para sahabat mengadaan sangkaan yangtidak baik itu ketika beliau menjemput kedatangan ‘Aisyah ra. Dengan mempergunakan unta Safwan bin Mu’attal di tengah hari bolong dan disaksikan oleh orang banyak, mencegah adanya sangkaan-sangkaan yang tidak sehat. Kalau ada desas-desus yang sifatnya negative, sebenarnya itu adalah cetusan sangka mereka yang disembunyikan dan kebencian yang ditutupi selama ini.



Ayat (13)
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.

Pada ayat ini, Allah SWT menunjukkan kebencian-Nya kepada orang-orang penyebar berita bohong itu, mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atas kebenaran fitnahan yang disebarkan dan dituduhkan kepada Siti ‘Aisyah ra itu ? tidak didatangkannya empat orang saksi oleh mereka itu, berarti bahwa mereka itu bohong di dalam pemberitaan mereka, baik di sisi Allah maupun di kalangan manusia.

Ayat (14)
Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaran kamu tentang berita bohong itu.

Pada ayat ini Alah SWT menerangkan bahwa andaikata bukan karena karunia di dunia ini kepada orang-orang penyebar berita bohong itu dengan banyaknya nikmat yang telah diberikan kepada mereka antara lain diberinya kesempatan bertaubat, dan rahmat Nya di akhirat dengan dimaafkan mereka dari perbuatan dosa dan maksiat mereka sesudah taubat maka akan ditimpakan dengan segera oleh Alah SWT azab kepada mereka di dunia atas perbuatannya menyebarkan fitnahan dan berita bohong.



Ayat (15)
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalh besar.

Pada ayat ini, Alah SWT menerangkan bahwa andaikata bukan karena karunia dan rahmat Nya, pasti mereka penyebar berita bohong itu akan ditimpa azab; pertama karena mereka itu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut lalu berbincang-bincang tentang hal itu, kemudian turut menyebar luaskan sehingga tidak satu rumah ataui suatu tempat pertemuan yang luput dari berita bohong itu; kedua karena mereka turut mempercakapkan suatu berita bohong yang mereka tidak tahu sama sekali selu beluknya, ketiga karena mereka menganggap enteng saja berita bohong itu, seakan-akan tidak berarti, padahal berita bohong itu adalah suatu hal yang sangat buruk akibatnya dan dosa besar di sisi Alah SWT.



Ayat (16)
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu : “sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.

Pada ayat ini, diterangkan bahwa Allah SWT menyayangkan, mengapa ketika mereka mendengar berita bohong itu baik dari sumber pertamanya maupun dari orang yang ikut-ikutan saja, tidak memberi reaksi, membantah dan dengan tandas mengatakan bahwa : bukanlah pada tempatnya memperhatikan berita itu. Maha Suci Allahakan membiarkan saja kejadian semacam itu. Allah SWT akan menghajar setiap orang yang menyiarkan berita bohong itu, karena yang demikian itu adalah hal yang tidak diridai Alah dan tidak dibenarkan oleh Rasul Nya yang berarti menyakiti Allahdan Rasul Nya. Mereka itu dilaknat di dunia dan akhirat sebagaiman firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yng menyakiti Alah Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” 353)







Buku tafsir
2..Tafsir Al Mishbah : pesan kesan dan keserasian al-Quran / M Quraish Shihab.--Cet VII.-- Jakarta : Lentera hati, 2002.
Vol.9 ; Hlm 294 -303.

Ayat (11)
” Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu. Janganlah kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adlah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka memperoleh apa yang dia kerjakan dari dosa itu. Dsan siapa yang mengambil bagian yang terbesar di dalamnya di antara mereka, baginya azab yang besar,”


Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang tuduhan melakukan penyelewengan terhadap wanita-wanita yang suci, dan cara penyelesainnya, kemudian disusul dengan tuntutan hokum bila tuduhan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Sanksi dan dampak tuduhan itu sangat berat dan buruk. Nah, di sini Alah mengemukakan suatu kasus serupa yang terjadi terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. Ayat ini mengecam mereka yang menuduh isteri beliau ‘Aisyah ra. Tanpa bukti-bukti. Alah berfirman : sesungguhnya orang-orang yang membawa yakni menyebarluaskan secara sengaja berita bohong yang keji itu menyangkut kehormatan keluarga Nabi Muhamad adalah dari golongan yang dianggap bagian dari komuitas kamu yakni yang hidup di tengah kamu wahai kaum mukminin. Janganlah kamu menganggapnya yakni menganggap berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu karena dengan demikian kamu dapat membedakan siapa yang munafik dan siapa yang kuat imannya. Tiap-tiap seseorang dari mereka yang menyebarkan rumor itu memperoleh balasan sesuai kadar apa yang dengan sengaja dan sungguh-sungguh dia kerjakan dari dosa isu buruk itu. Dan siapa yang mengambil bagian yang terbesar yakni yang menjadi sumber serta pemimpin kelompok itu di dalamnya yakni dalam penyiaran berita bohong itu, diantara mereka yang menyebarkannya maka baginya azab yang besar di akhirat nanti.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa peristiwa kebohongan besar yang dimaksud ayat di atas berkenaan dengan isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra. Ini terjadi pada kepulangan beliau dari pertempuran Bani al-Mushthalaq. Ketika itu, jarak kota Madinah sudah tidak terlalu jauh, maka Nabi saw. Mengizinkan pasukan untuk kembali menjelang fajar. Ketika ‘Aisyah mendengar rencana itu, beliau keluar kemah untuk suatu keperluan. Kemudian ketika akan berangkat bersama rombongan , tiba-tiba beliau sadar bahwa kalungnya hilang, sehingga beliau terpaksa kembali mencarinya. Setelah menemukannya beliau kembali menuju tempat rombongan dan mendapati mereka telah berangkat. Rupanya petugas yang ditugasi mengangkat baudaj (yaitu semacam tempat yang berbentuk kubah,diletakkan di punggung kendaraan/unta, dan di dalamnya ditempatkan wanita-wanita terhormat, untuk melindunginya dari sengatan panas atau dingin serta pandangan usil) – rupanya para pemikul baudaj menduga bahwa isteri Nabi saw. itu telah berada dalam baudaj apalagi ‘Aisyah ra ketika itu berbadan kecil dan ringan, ditambah lagi dengan suasana malam yang gelap. ‘Aisyah ra yang menyadari ketertinggalannya menanti di tempat pemberangkatan dengan harapan kafilah akan datang menjemputnya. Dalam saat yang sama, seorang sahabat Nabi saw bernaa Shafwan Ibn al-Mu’aththil as-Sulami yang mendapat tugas dari Nabi saw untuk mengamati pasukan musuh jangan sampai ada yang membuntuti pasukan muslimin, setelah sahabat yang mulia ynag termasuk salah seorang yang paling terdahulu memeluk Islam dan terlibat juga dalam perang Badr bersama Nabi saw itu yakin tidak ada musuh yang membuntuti ia segera enggan mengendarai untanya menyusul untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Dalam perjalanannya itu ia melalui tempat dimana tadinya pasukan berada sebelum meninggalkan tempat, dan ketika itulah beliau menemukan ‘Aisyah ra yang ketinggalan rombongan itu sedang tertidur. Beliau mengenal ‘Aisyah dsebelum turunnya perintah memakai hijab bagi wanita-wanita muslimah. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kecuali berdzikir. Lalu memerintahkan untanya untuk duduk sebagai isyarat kepada ‘Aisyah ra agar mengendarainya, sedang sahabat kepercayaan Nabi saw itu sendiri berjalan sambil menuntun unta. Di siang hari mereka menemukan pasukan Islam, dalam rombongan pasukan itu, terdapat tokoh kaum munafik yaitu ‘Abdulah Ibn Ubayy Ibn Salul. Dialah yang mengambil inisiatif dan berperan besar dalam memutarbalikan fakta dengan menuduh ‘Aisyah ra menjalin hubungan mesra dengan Shafwan. Dari sini isu menyebar bagaikan api dalam sekam, dan akhirnya didengar pula oleh Nabi saw, dan yang terakhir didengar adalah ‘Aisyah ra.
Kata al-ifk terambil dari kata al-afku yaitu keterbalikan baik material seperti akibat gempa yang mengjungkirbalikan negeri, maupun immaterial seperti keindahan bila dilukiskan dalam bentuk keburukan atau sebaliknya. Yang dimaksud disini adalah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta.
Kata ‘ushbah terambil dari kata ‘ashaba yang pada mulanya berarti mengikat dengan keras. Dari akar kata yang sama lahir kata muta’ashshib yakni fanatik, juga kata’ishabah yakni kelompok pembangkang. Kata yang digunakan al-Quran ini dipahami dalam arti kelompok yang terjalin kuat oleh satu ide, dalam hal ini isu negative itu jumlah mereka antara sepuluh sampai empat puluh orang, atau menurut pendapat lain dari tiga sampai sepuluh orang. Diperoleh kesan dari kata ini bahwa ada diantara mereka telah berkomplot untuk melakukan fitnah besar guna mencemarkan nama baik kelarga Nabi dan merusak rumah tangga beliau.
Riwayat-riwayat menyebut sekian nama selain ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul pemimpin kelompok itu, antara lain sahabat dan penyair Nabi yaitu Hassan Ibn Tsabit, Misthah Ibn Atsatsah dan Hmnah (saudara perempuan isteri Nabi saw yakni Zainab binti Jahsy). Sekian banyak ulama meragukan keterlibatan Hassan, walaupun namanya disebut-sebut bahkan al-Biqa’I dan beberapa ulama lainnya sangat meragukan keterlibatan Hassan mengingat kecintaan yang begitu besar serta pembelaannya kepada Rasul saw. memang bias saja periwayat-periwayat yang jujur keliru dalam menyampaikan informasinya. Demikian dituli al-Biqa’I menjawab sanggahan yang boleh jadi muncul dari siapa yang menyatakan bahwa riwayat tersebut disampaikan oleh orang-orang jujur sesuai informasi al-Bukhari dalam shahih-nya.
Firman-Nya : Janganlah kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Dapat dipahami dalam arti khusus bagi mereka yang terkena langsung dampak fitnah itu dalam hal ini Nabi saw dan keluarga beliau karena dengan peristiwa ini, Alah menurunkan ayat al-Quran yang dibaca sepanjang masa menyatakan tentang kesucian mereka. Ia juga baik untuk masyarakat muslim secara keseluruhan, karena dengan diketahuinya penyebar isu itu, masyarakat akan berhati-hati dari ulah mereka, serta dapat pula mereka meluruskan kesalahan anggota masyarakat lain yang keliru. Bahkan umat manusia secara keseluruhan akan memperoleh manfaat dan kebaikan bila mengikuti tuntunan ayat-ayat yang turun dalam konteks peristiwa pencemaran nama baik keluarga Nabi Muhamad saw itu.
Kata iktasaba menunjukan bahwa penyebaran isu itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ini bukan saja dipahami dari kata kasaba yang mengandung makna usaha, tetapi juga dari penambahan huruf ta’ pada kata tersebut.
Ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah [2] :286 yang menggunakan kata kasaba dan iktasaba, penulis lain mengemukakan bahwa : al-Quran menggunakan kata kasaba untuk menggambarkan usaha yang baik, dan kata iktasaba untuk usaha yang buruk. Walaupun keduannya berakar kata sama , tetapi kandungan maknanya berbeda. Patron kata iktasaba digunakan untuk menunjuk adanya kesungguhan, serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu dengan mudah dan tidak disertai dengan usaha sungguh-sungguh. Penggunaan kata kasaba dalam menggambarkan hal positif, memberi isyarat bahwa kebaikan walau baru dalam bentuk niat dan belum wujud dalam kenyataan, sudah mendapat imbalan dari Alah. Berbeda dengan keburukan. Ia baru dicatat sebagai dosa setelah diusahakan dengan kesungguhan dan lahir dalam kenyataan. Disamping itu, penggunaan kata tersebut juga menggambarkan , bahwa pada prinsipnya jiwa manusia cenderung berbuat kebajikan. Kejahatan pada mulanya dilakukan manusia dengan kesungguhan dan dengan usaha ekstra, karena kejahatan tidak sejalan dengan bawaan dasar manusia. Bandingkanlah keadaan kedua orang tua berikut : Yang pertama berjalan dengan isterinya, ia akan berjalan santai, tidak khawatir dilihat orang, masuk ke rumah di malam hari, dan di ketahui orang banyak pun tidak menjadi persoalan baginya. Berbeda dengan seorang pria yang berjalan dengan wanita tuna susila. Jalannya hati-hati, ia menoleh kr kiri dan ke kanan, khawatir katahuan orang. Demikian terlihat kebaikan dilakukan dengan santai dan kejahatan dengan upaya ekstra.
Kata kibrahu terambil dari kata kibr atau kubr yang digunakan dalam yang terbanyak dan terbesar. Yang dimaksud di sini adalah yang paling banyak terlibat dan paling besar peranannya dalam penyebaran isu tersebut.
Ayat di atas menegaskan adanya siksa yang pedih bagi yang terlibat langsung dalam penyebaran isu itu, khususnya yang paling berperan. Ulama berbeda pendapat apakah siksa duniawi berupa pencambukan delapan puluh kali, diterapkan atas mereka yang terlibat itu atau tidak. Namun demikian, walaupun mereka tidak terkena sanksi pencambukan, kecaman ayat-ayat ini serta pandangan negative yang tertuju pada mereka setelah turunnya ayat-ayat ini, sungguh telah merupakan siksaan batin yang tidak kecil.
Do sisi lain, penegasan ayat ini bahwa yang paling banyak terlibat dalam isu itu akan tersiksa yakni di akhirat, antara lain dapat ditemukan indikatornya yang sangat jelas pad diri ‘Abdulah Ibn Ubayy Ibn Salul, yang akhirnya mati sebagai munafik terbesar, bahkan Alah SWt menilainya kafir dan melarang Nabi Muhammad saw mendoakannya ( baca QS. At-Taubah [9]: 84 )
Ketika tersebarnya isu itu, Nabi saw gundah dan bimbang. Beliau mencari informasi dari banyak pihak, antara lain isteri beliau yang selama ini “bersaing” dengan ‘Aisyah, Zainab binti jahsy. Yang ini walau sebagi “madu” sama sekali tidak mendeskreditkan ‘Aisyah. “Usamah juga menjawab dengan nada yang sama. Tetapi Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib yang merupakan kemenakan Rasul iba melihat beliau, sehingga menjawab: “Wahai Rasul, Alah tidak mempersempit wanita untukmu. Banyak wanita selainnya. Jika engklau bertanya pada jariyah/pembantunya yakni Burairah, tentulah ia akan menjawab yang sebenarnya.” Jawaban Sayyidina Ali ra ini melukai ‘Aisyah ra yang agaknya berbekas sehingga pada sikapnya terhadap pengangkatan Sayyidina Ali sebagai khalifah. Betapapun sang jariyah ketika ditanya Nabi saw, menjawab: “Demi Alah yang mengutusmu dengan haq, kalau aku melihat sesuatu yang aku menutup mata karenanya, maka itu hanyalah bahwa ‘Aisyah adalah seorang wanita yang masih muda usia, dia tertidur di depan gandum keluarganya sehingga burung-burung datang memakannya.
Kegelisahan Nabi saw baru berakhir denagn turunnya ayat-ayat kelompok ini yang menampik isu negative tersebut. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa masa antara tersebarnya isu itu sampai dengan turunnya ayat-ayat ini adalah sekitar sebulan, dan pada masa itulah Nabi saw sangat gelisah. Agaknya hati kecil Nabi saw percaya kepada ‘Aisyah ra, hati kecil beliau tidak mugkin menbenarkan isu itu, tetapi tidak ada bukti yang dapat beliau kemukakan untuk menampiknya, apalagi indicator yang ditonjolkan oleh penyebar isu dapat mendukung kebenarannya. Dari sini kita dapat berkata seandainya al-Quran ciptaan Nabi Muhammad saw, tentu beliau tidak perlu menanti sedemikian lama. Bukankah beliau dapat dengan segera menghapus isu itu dengan memperatasnamakan wahyu, dan bila itu terjadi, tidak seorang muslim pun meragukannya. Namun karena wahyu berada di luar kemampuan beliau, maka dengan terpaksa Nabi agung itu, hidup dalam kegelisahan sekian lama.

Ayat (12)
“Mengapa di waktu kamu mendengarnya orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka dan berkata : “ ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”

Ketika isu itu merebak, ada diantara kaum muslimin yang terdiam, tidak membenarkan dan tidak pula membantah. Ada juga yang membicarakannya sambil bertanya-tanya tentang kebenarannya, atau sambil menampakkan keheranannya, dan ada lagi yna sejak semula tidak mempercayainya dan menyatakan kepercayaannya tentang kesucian ‘Aisyah ra.
Nah, ayat ini mengecam mereka yang diam seakan-akan membenarkan apalagi yang membicarakan sambil bertanya-tanya tentang kebenaran isu itu. Ayat ini menyatakan sambil menganjurkan mereka mengambil langkah positif bahwa: Mengapa di waktu kamu mendengarnya yakni berita bohong itu, kamu selaku orang-orang mikminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap saudara-saudara mereka yang dicemarkan namanya, padahal yang dicemarkan namanya itu adalah bagian dari diri mereka sendiri, bahkan menyangkut Nabi mereka dan keluarga beliau, dan mengapa juga mereka tidak berkata: “ini adalah suatu berita bohong yang nyata karena kami mengenal mereka sebagai orang-orang mukmin apalagi mereka adalah istri Nabi bersama sahabat terpercaya beliau.”
Kecaman ayat di atas amat terasa dengan penyebutan kedudukan mereka sebagai orang mukmin pria dan wanita, padahal ayat ini dapat saja bahkan “sewajarnya” menggunakan kata kamu sebagai kata ganti orang-orang mikminin dan mukminat. Itu semua mengisyaratkan bahwa konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, palingt tidak pembek\laan pasif dengan berkata: isu itu sangat diragukan kebenarannya bahkan dia adalah kebohongan karena ia ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Memang seperti ucap Sayidina Ali,”Bila kebaikan meliputi suatu masa bserta orang-orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi apabila kejahatan telah meliputi suattu masa beserta banyak pula yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap orang 6ang belum dikenalnya, maka ia sangat mudah tertipu.” Ketersebaran isu itu adalah dalam kelompok orang-orang mukmin serta terhadap orang-orang yang selama ini sangat terpercaya, maka sungguh wajar ayat ini mengecam mereka. Di sisi lain, seorang mukmin mestinya sangat berhati-hati dalam menerima dan membedakan isu, apalagi jika penyebarnya seorang fasiq (bac QS> al-Hujurat [49]: 6). Mereka seharusnya memperhatikan indicator-indikator peristiwa. Dalam konteks isu ini, mereka misalnya harus dapat memperhatikan bahwa kedatangan ‘Aisyah ra bersama Shafwan justru terjadi di siang bolong dan di tengah kerumunan pasukan. Seandainya mereka melakukan sesuatu yang buruk pastilah mereka tidak akan datang bersama. Dari sini sungguh sangat wajar dan pada tempatnya, jika ayat ini menuntut kaum beriman menyatakan bahwa hadza ifkum mubin/ ini adalah berita bohong yang nyata.
Ayat ini menekankan bahwa suatu berita yang disebarkan oleh seorang padahal ia tidak mengetahui asal usul berita itu, sebagaimana halnya tuntutan tanpa bukati yang mendukungnya, dinilai sama dengan kebohongan yang nyata, walaupun kenyataan berita tersebut benar. Ini disebabkan karena sesuatu yang di nilai oleh agama besar, selama apa yang disampaikan itu sesuai engan keyakinan si pembicara, walau informasinya tidak sesuai dengan kenyataan. Jika anda menduga si A sakit, kemudian anda memberitakannya, maka anda dinilai berucap yang benar walau dugaan anda itu tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya jika anda mengetahui bahwa dia sakit, kemudian anda berkata bahwa dia sehat, maka anda dinilai berbohong, walau dalam kenyataan dia memang sehat. Ini karena Alah menilai niat dan motivasi pembicara, bukan kenyataan yang tidak diketahuinya. Karena itu tidaklah wajar seseorang berbicara membenarkan atau membantah apa yang diketahuinya, karena bila dia mengambil sikap yang membenarkan atau mendukung ia dinilai berbohong dalam sikapnya itu. Allah berfirman:
Artinya : “Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra [17]: 36)


Ayat (13-14)
“Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi? Oleh klarena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah, merekalah para pembohong. Sekiranya tidak ada karunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya di dunia dan akhirat niscaya kamu pasti ditimpa – akibat kecerobohan kamu yang demikian luas – oleh azab yang besar.”

Setelah mengecam kaum mukminin yang tidak mengambil sikap yang tepat, ayat ini beralih kepada para penyebar isu yang menuduh itu, tanpa mengarahkan secara langsung pembicaran kepada mereka, guna mengisyaratkan murka Allah. Ayat di atas menyatakan: mengapa mereka yang menuduh itu- bila memang mereka benar dalam tuduhannya – tidak mendatangkan empat orang saksi yang menyaksikan kebenaran tuduhan mereka? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah yakni dalam ketetapan hukum-Nya, dan secara khusus pada kasus ini merekalah bukan selain mereka yang merupakan para pembohong yang mantap kebohongannya. Sekiranya tidak ada karunia Allah atas kamu semua antara lain dengan menjelaskan tuntunan agama-Nya dan demikian juga seandainya tidak ada rahmat-Nya yang melimpah di dunia dengan jalan menerima taubat kamu dan di akhirat dengan memberi pemanfaatan bagi yang dikehendaki-Nya niscaya pasti kamu ditimpa – akibat kecerobohan kamu yang demikian luas dalam pembicaraan negatif tentang berita bohong itu – ditimpa oleh azab yang besar.
Kata afadhtum terambil dari kata ifadha yaitu keluasan dalam sesuatu, serta tampil tidak hati-hati dan tan tanpa perhitungan . kata kerjanya adalah fadha yang berarti melimpah. Jika anda menuang air terlalu banyak melebihi kapasitas wadah tempat anda menuang, pastilah air itu melimpah keluar. Ayat ini menilai kaum mukminin telah melampaui batas kewajaran berkaitan denagn isu negatif itu. Pelampauan dimaksud bisa secara hakiki, yakni mereka yang benar-benar ikut membicarakan dan mempertanyakannya, atau secara majazi karena diam, tidak ikut menyatakan keraguan tentang hal tersebut. Kata yang digunakan ayat ini, di sini, tidak menyebut objeknya. Ini untuk mengisyaratkan betapa buruk pembicaraan itu, sehingga tidak wajar untuk diucapkan.

Ayat (15-18)
“ ketika kamu menerimanya dari lidah ke lidah dan kamu katakan dari mulut ke mulut kamu, apa yang tidak ada bagi kamu tentangnya sedikit pengetahuan pun, dan kamu menganggapnya suatu yang remeh, padahal pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu saat mendengarnya tidak berkata : “ sekali-kali tidak pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau, ini adlah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kamu karena tidak suka kamu kembali memperbuat serupa dengannya selam-lamanya; jika kamu orang-orang mukmin dan Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.”

Ayat-ayat di atas merupakan lanjutan kecaman ayat-ayat yang lalu. Di sini Allah menggambarkan situasi terjadinya rumor itu, yakni ketika itu kamu menyebarkan berita bohong itu dari mulut ke mulut, atau melalui ayat ini Allah menggambarkan jatuhnya siksa yang diancam oleh ayatlalu. Apapun hubungannya, yang jelas Allah berfirman: ketika kamu menerimanya dan menyebarluaskan isu itu dengan sungguh-sungguh dari lidah ke lidah dan kamu katakan secara aktif oleh sebagian kamu dan sebagian yang lain pasif dengan jalan bertanya untuk ingin tahu bukan untuk membantah, kamu katakan dengan mulut-mulut kamu sendiri bukan dengan isyarat, apa yang tidak ada bagi kamu terutama tentangnya yakni tentang duduk persoalan menyangkut isu itu sedikit pengetahuan pun, dan kamu menganggapnya yakni pembicaraan kamu itu suatu yang remeh tanpa dosa dan celaan atau tanpa dibalas denagn keras. Padahal dia pada sisi Allah adalah dosa yang besar serta kedurhakaan yang sangat buruk. Dan mengapa kamu, yakni semestinya kamu saat mendengarnya yakni begitu mendengar berita bohong itu tidak berkata dengan tegas dan langsung ketika itu juga bahwa: “ sekali-kali tidak pantas bagi kita memperkatakan yang seperti ini terhadap sesama manusia, apalagi muslim, lebih-lebih terhadap Ummul Mukminin isteri Nabi Muhammad saw”. Ucapan yang mestinya kamu ucapkan sambil menunjukan rasa keheranan dan ketidaklogisan adalah: “Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, isu ini adalah dusta yang besar.”
Demikian Allah memperingatkan yakni menyentuh hati kamu dengan nasihat karena tidak suka kamu kembali memperbuat kesalahan dan kedurhakaan serupa dengannya untuk selama-lamanya; jika kamu orang-orang mukmin yang mantap imannya maka tentu kamu tidak akan mengulanginya karena keimanan bertentangan dengan sikap tersebut, dan disamping peringatan dan nasihat itu Allah juga menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya serta menunjukan kebenaran tuntunan dan hukum-hkum-Nya. Allah Maha Kuasa dan Allah Maha Mengetahui, karena itu ikuti tuntunan-Nya, lagi. Dia adalah Maha Bijaksan dalam ketetapan-ketetapan-Nya dan karena itu terima dan laksanakanlah dengan tekun.
Kata ma yakunu biasa diterjemahkan dengan tidak pantas atau tidak wajar. Namun terjemahan tersebut belum mencerminkan dengan tepat pesan kata itu, yang pada hakikatnya bermaksud menyatakan bahwa hal yang dinafikan ayat ini tidak dapat wujud dalam kenyataan sekarang atau masa datang – walau seandainya seseorang menghendaki wujudnya. Dengan demikian, maknanya lebih dalam daripada tidak pantas atau tidak wajar. Karena kedua kata terakhir ini, masih membuka kemungkinan bagi wujud dan terjadinya apa yang tidak pantas itu, tetapi ia hanya tidak wujud karena alasan moral. Alasan ini, bisa saja diabaikan oleh orang lain sehingga akhirnya ia wujud juga dalam kenyataan. Ini tentu berbeda bila sejak semula anda memahami kata ma kana atau ma yakunu dengan tidak dapat wujud dalam kenyataan.
Kata alsinatikum adalah bentuk jamak dari kata lisan yang berarti lidah. Ia dapat diartikan secara hakiki dalam hal ini alat yang berada di mulut yang digunakan untuk menjilat, mengecap dan berkata-kata, dan dapat juga dalam arti mujazi antara lain bahasa. Yang dimaksud di sini adalah pengertian hakiki. Ia dikemukakan di sini guna menggambarkan keburukan ucapan-ucapan yang mereka sendiri ucapkan dengan lidah yang merupakan organ tubuh mereka dan dengan bahasa yang jelas. Penggunaan bahasa tersebut agaknya bertujuan mengesankan bahwa ucapan tersebut adlah sekadar kata-kata yang tidak memilikin substansi di alam nyata, lagi tidak dapat diterima oleh kalbu, karena dia tidak berdasar pengetahuan dan penelitian tentang kebenarannya. Sedang penyebutan kata mulut di samping untuk mengukuhkan makna kata lidah, sekaligus sebagai pengantar untuk menegaskan pernyataan sesudahnya yakni: tidak ada lagi kamu tentangnya yakni tentang duduk persoalan menyangkut isu itu sedikit pengetahuan pun. Didahulukannya kata tentangnya pada penggalan ayat ini, untuk menggarisbawahi bahwa seandainya dalam hal lain mereka memiliki pengetahuan, tetapi dalam hal isu itu sedikit pengetahuan pun mereka tidak miliki.
Didahulukannya kata idz sami’tumuhul/ saat kamu mendengarnya atas kata qultum/kamu berkata untuk mengisyaratkan besarnya dampak buruk peristiwa serta apa yang mereka dengarkan itu, sehingga seharusnya begitu mereka mendengarnya saat itu pula mereka harus pula membantahnya. Demikian al-Biqa’i
Kata buhtan adlah kebohongan yang sangat besar. Kata ini terambil dari kata buhita yang antara lain berarti tercengang dan bingung tak mengetahui apa yang harus dilakukan. Kebohongan besar bisa menjadikan seseorang tak habis pikir bagaiman hal tersebut bisa diucapkan sehingga tercengang dan bingung. Penyebarluasan isu itu, dinilai sebagai buhtan karena ia adalah ucapan yang disengaja dan tanpa alasan serta bukti, dan juga karena ia berkaitan denagn kehormatan manusia bahkan rumah tangga Rasul saw. yang merupakan manusia agung pilihan Allah SWT.
Kata subhana digunakan untuk menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan. Ia diucapkan juga saat seseorang menyadari dan takjub akan kebesaran dan kehebatan ciptaap Allah. Biasa juga ia diucapkan saat ada sesuatu yang mengherankan, seperti ucapan Nabi Isa as ketika Allah “bertanya” apakah dia yang menyuruh manusia menyembah dirinya dan menyembah ibunya(baca QS. al-Maidah [5]: 116), atau ucapan serupa yang disebut pada awal surah al-Isra yang berbicara tentang Isra Nabi Muhammad saw. Bahkan dia diucapkan untuk sesuatu yang mengherankan walau tidak dengan tujuan mensucikan Allah, seperti pada ayat ini. Betapa tidak mengherankan, isteri seorang Nabi yang agung dan rumah tangganya yang suci, dinodai oleh isu tanpa dasar sedikit pun.


3.Tafsir al azhar
http://kongaji.tripod.com/

Ayat 11
Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kata bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah mem­baikkan. Setiap orang akan men­dapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula.

Propokasi

Kemenangan-kemenangan dan kejayaan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. menegakkan masyarakat Islam di Madinah, adalah tegak di atas kesetia­an sahabat-sahabatnya dan kebencian musuh-musuhnya. Orang besar selalu diuji oleh pujaan dan celaan. Di samping orang-orang sebagai Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib yang menyediakan jiwa-raganya dan harta benda biar sama hilang sama timbul dengan Nabi, ada juga musuh-musuh besar yang dalam memusuhi itu pun mereka "besar" pula.

Musuh demikian dihadapi Nabi ketika beliau di Makkah, di antaranya ialah Abu Jahal yang terkenal menentang Nabi terang-terangan secara jantan. Tetapi setelah Nabi s.a.w. pindah ke Madinah, dan masyarakat Islam mulai berdiri, beliau menghadapi musuh yang bukan satria, orang ber­jiwa kecil yang hanya berani membuat fitnah, menghasut, menggunjing, ber­bicara di belakang, sedang pada lahirnya dia bermulut manis menyatakan setuju. Dan apabila ada jalan buat memasukkan jarum dengki dan bencinya, dimulainyalah memainkan jarum itu, walaupun di balik pembelakangan. Itulah yang dinamai golongan munafiqin yang dipimpin oleh seorang yang mengaku kawan padahal lawan, yaitu Abdullah bin Ubay.

Kalau ada musuh hendak melawan Islam, dibantunya dari belakang secara diam-diam tetapi kalau musuh itu sudah dapat dikalahkan oleh Nabi, dia pun mencuci tangan dan musuh yang kalah itu ditinggalkannya, dan dia pergi mengambil muka kepada Muslimin yang menang. Kalau dia menampak agak sedikit pintu hasutan, untuk memecahkan front Muslimin di antara Muhajirin dengan Anshar, dilaluinyalah lobang yang kecil itu, sehingga kalau kurang hati-hati pimpinan, pesatuan Islam bisa pecah berantakan. Tetapi Nabi s.a.w. dan sahabat-sahabatnya tetap waspada, sehingga segala usahanya tetap tidak pemah berhasil.

Akhirnya dicobakannyalah senjata penghabisan, sebagai "climax" atau puncak dari segala usahanya yang gagal selama ini, dan yang menjadikan sebab dari kejatuhannya buat selamanya dan dia tidak dapat mengangkat mukanya lagi. Tetapi perbuatannya ini boleh dicatat sebagai suatu perbuatan "pengecut yang sangat berani". Dia telah mencoba menunggu ketenteraman jiwa Nabi s.a.w. sendiri dan jiwa orang yang paling dekat kepada Nabi, orang yang kedua dalam pembangunan Islam, yaitu Abu Bakar, ayah Aisyah.

Demikianlah, pada suatu hari seketika Rasulullah s.a.w. bersama sahabat­sahabatnya dan tentaranya pulang dari peperangan dengan Yahudi Bani Musthaliq dengan kemenangan gilang-gemilang.

Sudah menjadi kebiasaan Nabi s.a.w. apabila beliau pergi keluar kota memimpin suatu peperangan, beliau undi isterinya dan mana yang keluar undiannya, dialah yang ikut pergi. Dalam peperangan Bani Musthaliq ini, Siti Aisyah lah yang menang undian dan turut pergi. Dia diangkat dengan Haudaj, semacam tandu kenaikan diletakkan di atas punggung seekor unta. Usia Aisyah ketika itu barulah 14 tahun, sebab dalam usia 9 tahun dia mulai diserumahkan oleh ayahnya dengan Nabi seketika mulai pindah ke Madinah, sesudah di­nikahkan di Makkah setahun terlebih dahulu. Badannya ringan dan kecil.

Seketika berhenti pada suatu pemberhentian, haudaj itu diturunkan orang dari punggung unta. Aisyah meraba lehernya, rupanya kalung yang di lehernya sudah tidak ada lagi, entah tercecer di tengah jalan. Lalu dia turun dari haudaj nya dan dia pergi ke tempat yang telah dilalui tadi, mencari kalungnya yang hilang. Rupanya setelah agak lama mencari tak bertemu, lalu dia kembali ke tempat haudajnya terletak.

Tetapi sayang, rombongan telah berangkat lebih dahulu karena tidak ada orang yang tahu bahwa beliau telah turun dari dalam­nya, dan tidak pula ada orang yang memeriksanya, karena beliau memakai hijab dan badan beliau amat ringan, sehingga sama saja berat haudaj itu baik beliau ada di dalam ataupun tidak ada.

Maka berhentilah beliau duduk melepaskan lelahnya di perhentian yang telah ditinggalkan itu, dengan kepercayaan apabila orang mengetahui nanti bahwa beliau tidak ada, niscaya orang akan kembali menjemputnya. Sebab kalau berjalan pula mengejar rombongan itu pada padang pasir yang demikian teriknya, agaknya tidaklah akan terkejar.

Dalam beliau termenung seorang diri­nya itu sambil menyelimutkan selendang ke badannya, tiba-tiba datanglah seorang pemuda, sahabat Nabi juga, bernama Shafwan Ibnu Mu'aththil Assulami, yang kebetulan berjalan terkemudian dari rombongan, karena ada keperluan yang diurusnya. Demi dilihatnya Aisyah, yang dikenalnya sebelum turun ayat hijab, dia pun terkejut lalu mengucapkan "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un" dan segera menanyakan mengapa beliau terkemudian. Aisyah tidak menjawab. Kemudian Shafwan membawa untanya ke muka beliau, dan diper­silakannya beliau naik, lalu beliau pun naik dan Shafwan berjalan menuntun unta tersebut, sampai dapat tersusul rombongan yang telah berangkat itu.

Cepat sebagai kilat, tersebar berita dari mulut ke mulut, Aisyah telah ber­laku serong dengan Shafwan, mereka telah berjalan berdua-dua, mereka rupanya telah berjanji akan mengkhianati Rasulullah, dan sebagainya. Diatur berita itu demikian rupa, diterima dari satu mulut dan pindah ke mulut lain, bisik berantai sehingga "menjadi rahasia umum". Yang menyebarkan berita ini diketahui kemudian, yaitu Abdullah bin Ubay.

Sebagaimana melawan penjajahan, kerapkali pihak musuh menyebarkan berita bisik berantai seperti demikian, untuk menimbulkan kekacauan fikiran. Dan dalam saat yang demikian, orang tidak sempat mengadakan penyelidikan atau mempertimbangkan dengan akal sihat. Inilah yang dalam bahasa sekarang disebut "propokasi".

Khabar berita ini telah tersiar, cepat sebagai api memakan lalang. Jarang orang yang dapat memikirkan benar atau tidaknya. Yang tadinya masih dapat menimbang pun boleh menjadi ragu karena di kiri­kanan orang telah membicarakannya. "Siti Aisyah, isteri kesayangan Rasulullah yang masih muda belia, berjahat dengan seorang sahabat muda."

Adakah orang yang sempat berfikir bahwa berita itu harus diselidiki kebenarannya? Karena ini adalah soal besar? Soal rumahtangga Nabi? Soal terganggukah ataia tidak perasaan beliau? Betapakah agaknya Abu Bakar, sahabat karib Nabi sejak agama ini dibangunkan dan dida'wahkan, selalu di dekat Nabi? Bagaimana dia mendidik anak perempuannya? Hat itu tidaklah sempat difikirkan orang lagi. Propokasi itu kadang-kadang amat berpengaruh sehingga orang tidak sempat berfikir.

Dalam tafsir ini hendak kita sarikan isi riwayat nasib penanggungan batin yang dirasai Aisyah karena malapetaka tuduhan yang amat besar itu yaitu menurut Hadis yang dirawikan oleh Bukhari clan lain-lain dari `Urwah bin Zubair, dari Makciknya Aisyah sendiri.

Aisyah sendiri bercerita bahwa setelah dia turun dari atas unta itu dan kembali ke haudajnya disangkanya tidak ada apa-apa: Bahwasanya bisik-desus telah menjadi-jadi dan dia telah menjadi buah mulut orang, samasekali dia tidak tahu. Dan perjalanan pulang ke Madinah dilanjutkan dengan selamat. Aisyah berkata selanjutnya bahwa sesampai di Madinah, beliau ditimpa demam; mungkin karena penatnya dalam perjalanan jauh itu. Khabar berita propokasi itu telah tersiar luas dan merata, namun dia belum juga tahu-menahu bahwa dia telah menjadi buah mulut orang. Dan berita itu pun rupanya telah sampai ke telinga Rasulullah s.a.w. sendiri, bahkan telah sampai kepada ayah­bundanya, Saiyidina Abu Bakar dan isterinya , tetapi tidak seorang jua pun di antara mereka, Rasulullah, Abu Bakar, dan ibunya, yang membayang-bayang-kan hal itu kepada Aisyah.

Cuma fikiran saya menjadi bertanya-tanya melihat sikap lemah-lembutnya menanyakan kepadaku tentang badanku yang sedang kurang sihat itu, sehingga menimbulkan kurang puasku, ada apa. Karena kalau beliau masuk melihatku, sedang ibuku duduk dekatku merawatku, beliau ber­tanya: " Bagaimana keadaanmu ? " Tidak lebih dari itu, beliau pun keluar. Karena melihat sikap beliau yang demikian, timbullah jengkelku. Lalu aku ber­kata kepadanya: "Kalau engkau izinkan, saya hendak pulang saja ke rumah ibu." Beliau menjawab: "Baiklah." Karena telah mendapat izin itu, saya pun pulanglah ke rumah ibuku, dan di sana sampai saya sembuh, setelah menderita demam lebih dari 20 hari.

Aisyah berkata seterusnya: "Kami orang Arab pada masa itu tidaklah mem­punyai tempat buang air dalam rumah, sebagai orang Ajam, kami benci dan jijik dengan dia. Kalau kami hendak buang hajat, kami keluar ke tengah padang malam-malam, terutama kami kaum perempuan. Pada suatu malam, saya pun keluarlah ditemani oleh Mak si Misthah. Tiba-tiba sedang kami melangkah itu, teracung kaki Ummi Misthah, lalu dia menyumpah: "Barang dicelakakan Tuhanlah si Misthah." Saya terkejut mendengar dia menyumpah, lalu saya berkata: "Mengapa disumpahi seorang pejuang yang telah turut dalam pe­perangan Sadar?"

Lalu berkatalah Ummi Misthah: "Tidakkah engkau mendengar khabar hai anak Abu Bakar?" "Khabar apa?" tanyaku pula. Lalu diceritakannyalah berita yang telah tersiar tentang diriku itu."Betulkah demikian?" tanyaku. Ummi Misthah menjawab: "Betul!"

Berkata Aisyah selanjutnya: "Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Ummi Misthah itu , demi Allah ( lemah rasanya segala persendianku ), sehingga tidak upaya aku lagi melepaskan hajatku selain aku segera pulang. Demi Allah, aku menangis sehingga rasanya jantungku akan pecah karena tersangat tangis­ku.

Lalu aku berkata kepada ibuku: "Tuhan moga-moga memeliharamu, ibuku, sudah demikian kata orang tentang diriku, namun ibu tak menyebut-nyebutnya kepadaku sedikit jua." Ibuku dengan tenangnya menjawab: "Anakku sayang, tenangkan hatimu. Demi Allah, jaranglah perempuan cantik yang mempunyai suami yang amat dicintainya dan mempunyai pula banyak sembayan (madu), yang tidak terlepas dari buah mulut orang, dan aku banyaklah cerita orang atas dirinya."

Dalam keadaan saya demikian itu, rupanya di luar pengetahuan saya juga, Rasulullah telah berdiri di hadapan sahabat-sahabatnya berpidato.

Setelah beliau memuji Allah, beliau berkata:
"Wahai sekalian manusia! Mengapa orang orang telah menyakiti diriku dari hal isteriku? Dia dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak ? Demi Allah, yang aku ketahui tentang ahliku adalah baik belaka. Dan disebut-sebut pula nama seorang laki-laki yang demi Allah dia pun saya kenal seorang yang baik. Dia belum pemah masuk ke daiam rumahku, kecuali bersama aku."

Perkataan Rasulullah itu rupanya diambil berat oleh Abdullah bin Ubay, berhubungan dengan beberapa orang sahabat dari Bani Khazraj. Dan bersamaan pula dengan itu tersangkut pula nama Misthah dan seorang perempuan bernama Hammah binti Jahasy, ini adalah maduku pula, kata Aisyah selanjutnya, yang penghargaan Rasulullah terhadap dirinya hampir sama juga dengan penghargaannya terhadap diriku. Adapun Zainab sendiri dipelihara Tuhanlah daripada menuduh-nuduh. Perkataannya tentang diriku adalah baik. Tetapi Hammah menyebarkan berita bohong itu, untuk menyakiti hatiku karena benci dan cemburu tersebab saudaranya.

Setelah Rasulullah s.a.w. selesai berpidato itu berkatalah Ussaid bin Hudhair (dari Bani Aus): "Ya Rasulullah, kalau yang menyiarkan berita bohong itu dari kaumku Aus, serahkan sajalah penyelesaiannya kepada kami, niscaya akan kami bereskan. Tetapi kalau dari saudara kami Bani Khazraj, perintahkan­lah kepada kami apa yang diperintahkan Allah. Demi Allah, memang mereka itu pantas dipotong leher belaka."

Mendengar ucapan itu, berdirilah Saad bin 'Ubbadah (dari Bani Khazraj), yang selama ini terkenal seorang yang shalih, dia berkata: "Engkau bohong. Demi Allah. Tidaklah engkau sanggup memotong leher mereka. Engkau berkata begitu lantaran engkau tahu bahwa mereka dari Khazraj. Kalau begitu kaummu sendiri, engkau tidak akan bercakap sekeras itu " Usaid menyambut lagi: "Engkaulah yang bohong, demi Allah, bahkan engkau munafik, engkau membela orang-orang yang munafik."

Maka ributlah orang bertengkaran, terutama di antara kedua kaum ini, sehingga nyarislah terjadi hal yang tidak diingini. Maka Rasulullah pun turunlah dari mimbar, dalam pada itu masuklah Ali bin Abu Thalib. Rasulullah memanggil Ali dan Usamah bin Zayid dan mengajak keduanya musyawarah.

Adapun Usamah memberikan pujian yang baik terhadapku dan berkata: "Ya Rasulullah, ahli rumah engkau, tidak ada yang kami ketahui tentang dirinya hanyalah yang baik saja."

Tetapi Ali menjawab: "Ya Rasulullah, perempuan banyak, tuan sanggup menggantinya dengan yang lain. Mintalah gadis mana yang engkau suka, niscaya dialah yang akan membayar maskawin kepada engkau." Setelah itu Ali minta panggil seorang perempuan nama Burairah untuk ditanya.

Rasulullah memanggil pula Burairah, lalu menanyainya. Lalu Ali berdiri, dipukulnya Burairah seraya berkata dengan kerasnya: "Katakan apa yang sebenamya kepada Rasulullah!" Lalu Burairah menjawab: "Demi Allah, yang saya ketahui adalah baik saja. Cuma celaanku kepada Aisyah hanya satu saja, yaitu bahwa saya menumbuk tepung, saya minta tolong kepadanya menjaga tepung itu, lalu dia tertidur. Datang kambing, lalu dimakannya tepung itu."

Aisyah meneruskan cerita lagi: "Kemudian itu masuklah Rasulullah ke rumah, sedang saya tengah duduk dengan kedua orang ayah-bundaku. Waktu itu ada pula tetamu seorang perempuan Anshar, saya tengah menangis dan perempuan itu menangis pula, karena kasihan kepadaku. Lalu Rasulullah duduk, dipujinya Allah dan dimuliakanNya, kemudian beliau berkata: "Hai Aisyah, sudah banyak kata orang tentang dirimu, takwa sajalah kepada Allah. Kalau benar-benar engkau telah berbuat salah sebagai dikatakan orang-orang itu. Taubat sajalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya."

Berkata Aisyah: "Demi Allah, Rasulullah telah berkata demikian pula, sehingga tersenak airmataku, sehingga tak ada perasaanku lagi. Aku tunggu sajalah moga-moga kedua ayah-bundaku dapat menyambut perkataan beliau, namun tidak ada yang menyahut!"

Berkata Aisyah: "Demi Allah, aku merasa diriku ini kecil, sehingga tiadalah kelayakan bagiku akan diturunkan Tuhan al-Quran karenaku, dalam mimpinya itu Tuhan membuktikan bohongnya tuduhan-tuduhan itu, sehingga beliau tahu bahwa aku bersih.

Adapun akan turun al-Quran, belumlah terlintas di anganku, aku adalah merasa sangat kecil buat menerima kehormatan setinggi itu." Kedua ayah-bundaku tidak juga bercakap. Lalu aku tegur: "Jawablah wahai ayah dan bunda perkataan Rasulullah itu." Ayah-bundaku menjawab: "Demi Allah, kami tak tahu apa yang akan kami jawabkan kepada beliau." Demi Allah, seru sekalian alam, belumlah saya mengetahui ada rumahtangga lain yang menderita batin sehebat yang diderita oleh rumahtangga Abu Bakar di hari itu.

Setelah kedua ayah-bundaku ternyata bingung hendak menyambut ucapanku itu, aku menangis kembali, kemudian aku berkata: "Demi Allah, saya tidak akan taubat kepada Allah, selama-lamanya saya tidak akan taubat tentang hal ini. Demi Allah, saya lebih mengetahui, kalau saya mengakui apa yang diperkatakan orang-orang itu. Allah lebih mengetahuinya bahwa saya tidak bersalah. Niscaya saya mengatakan apa yang tidak pernah terjadi. Sebaliknya kalau saya ingkari tuduhan mereka itu, namun ayah-bunda dan suami tidak juga percaya."

Dalam pada itu teringatlah olehku nama Nabi Ya'kub ketika dia kehilangan puteranya Yusuf, lalu aku ulangkan ucapan yang pernah diucapkannya :

"Aku sabar, yang mulia indah, Allah tempatku memohon pertolongan pada yang kamu sifatkan itu."

Demi Allah, tidak lama antaranya, beliau, Rasulullah yang duduk pada tempat duduknya itu, tiba-tiba beliau mulai pingsan, yaitu pingsan yang selalu kejadian alamat Wahyu akan datang, lalu beliau diselimuti dan aku letakkan bantal di kalangan hulu beliau.

Adapun saya sendiri - kata Aisyah - setelah saya lihat hal itu, demi Allah, tidaklah saya merasa gentar dan tidaklah saya merasa cemas, saya yakin bahwa saya bersih dari tuduhan, dan Tuhan tidak akan menganiayaku. Adapun kedua ayah-bundaku, setelah mereka melihat yang demikian itu, kelihatan beliau­beliau pucat seakan-akan nafas beliau akan keluar dari badan, kalau-kalau Wahyu yang akan turun itu membenarkan apa yang dipercakapkan orang selama ini. Sesaat kemudian Rasulullah yang mengalir keringat di dahinya itu berkata: "Gembirakan hatimu Aisyah. Tuhan Allah telah menurunkan kesaksian bahwa engkau suci!" Aku jawab perkataan Rasulullah itu dengan pendek, "Alhamdulillah."

Bukan main gembiranya ayah-bundaku karena datangnya Wahyu itu, lalu bundaku berkata: "Tegaklah Aisyah, ucapkanlah terimakasihmu kepada Rasulullah!" Aku jawab: "Saya tidak akan berdiri untuk itu dan tidak ada yang akan saya puji, melainkan Allah, sebab Allahlah yang menurunkan Wahyu tentang kesucianku."

Setelah itu Rasulullah keluarlah kembali kepada orang banyak, lalu beliau berpidato dan dibacanyalah:

إِنَّ الَّذينَ جاؤُو بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَ الَّذي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذابٌ عَظيمٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu, adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu sangka berita bohong itu membawa akibat buruk bagi kamu, tetapi adalah itu membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman tersebab dosa yang diperbuatnya, dan bagi yang mengambil bagian terbesar (dalam penyebaran berita bohong itu), akan ditimpakan azab siksa yang besar." (ayat 11).

Maka terpeliharalah Aisyah dari tuduhan nista dan rendah itu, dilakukan hukuman dera dengan rotan 80 kali, kepada orang-orang yang tersangkut, termasuk Hasan bin Tsabit dan Hammah sendiri. Adapun Abdullah bin Ubay yang "lempar batu sembunyi tangan", tidaklah diapa-apakan oleh Rasulullah. Barangkali beliau tidak menuntutnya adalah dengan maksud terlebih tinggi, yaitu hukuman batin yang lebih hebat atas dirinya bukanlah karena didera, me­lainkan dengan kebencian orang banyak atas dirinya. Kemana-mana akan di­sorokkannya mukanya. Bahkan seketika beberapa tahun di belakang Abdullah bin Ubay mati, Rasulullah s.a.w. pun masih bersedia menyembahyang­kan jenazahnya, meskipun Saiyidina Umar bin Khathab kurang setuju atas "toleransi" yang terlalu itu. Yang penting rupanya bagi Rasulullah sebagai seorang pembangun ummat bukan kepuasan batin karena dapat membalaskan kesakitan yang ditimpakan Abdullah bin Ubay itu. Yang penting bagi Rasulul­lah ialah menunjukkan kepada Abdullah bin Ubay bahwa segala usahanya betapa pun curang dan nistanya, tidak akan dapat menghambat dan meng­halangi terbit memancarnya matahari Islam.

Seorang perawi Hadits yang masyhur, yaitu Masruq, apabila membawakan Hadis dari Aisyah selalu berkata:



"Telah memberitakan kepadaku "shiddiqah anak Shiddiq (si jujur anak si jujur), kecintaan Rasulullah s.a.w. yang dijamin kesuciannya dari langit."

Dengan demikian maka fitnah yang disebarkan itu, yang tadinya disangka akan dapat meruntuhkan dan menumbangkan pohon kemuliaan yang besar, telah bertukar menjadi penolong buat memperteguh uratnya ke bumi.

Dan karena ayat-ayat yang khas diturunkan Tuhan untuk membela ke­sucian dan kehormatan Siti Aisyah ini teringatlah kita suatu kejadian, bahwa seorang Nasrani yang sengaja hendak menghina Nabi kita, telah sengaja mengejekkan Tuhan untuk membela kesucian dan di hadapan seorang Muballigh Islam. Dan mengatakan bahwa Wahyu-wahyu ini hanyalah dibuat-buat saja oleh Muhammad, untuk membela isterinya, karena dia sangat kasih kepada isterinya itu.

Ejekan yang demikian telah dijawab oleh Muballigh Islam tadi demikian: "Dua orang wanita yang suci telah mendapat tuduhan yang sama beratnya oleh musuh-musuh Tuhan. Di sini tersebut Aisyah, padahal ada seorang lagi.

Dan yang seorang lagi itu lebih berat lagi tuduhan orang kepadanya: "Dia dituduh berzina pula mendapat anak dari perhubungan jahat itu." Sedang Aisyah tidak­lah dituduh sampai beranak.
Si Nasrani bertanya: Siapa..... ?
Si Muballigh rnenjawab: "Maryam ibu Isa Almasih. Keduanya sama ter­tuduh, tetapi kedua perempuan suci itu telah sama mendapat pembelaan dari al-Qurari. Al-Quran mempertahankan kesucian Maryam ibu Isa sama dengan mempertahankan Aisyah anak Abu Bakar as-Shiddiq. Wahyu Tuhan memper­tahankan kesucian Maryam itu lebih jelas daripada catatan-catatan yang tertulis dalam kitab-kitab Injil yang tuan pegang. Dan kami orang Islam mempercayai bahwasanya kedua Wahyu pembelaan kesucian itu sama datangnya dari Tuhan dan kami percayai pula keduanya. Maka kalau saudara tidak percaya Wahyu yang diturunkan untuk membela Aisyah, haruslah saudara tidak percaya pula akan Wahyu yang mempertahankan Maryam ibu Isa."

Dalam permulaan ayat sudah ditegaskan bahwa ini adalah ijki, berita bohong, khabar bohong dan dusta yang dibuat-buat. Dengan permulaan ayat ini saja, berita yang ditunggu kesucian Aisyah telah jelas sehingga orang tidak usah menunggu lebih lama lagi. Dan telah diisyaratkan di sini bahwasanya berita bohong ini bukan datang dari orang luar, tetapi dari golongan sendiri "orang dalam". Ada karena dengan maksud tertentu dan ada karena ke­bodohannya. Sebab khabar berita ifki yang sengaja disebarkan untuk membuat kekacauan fikiran, cepat benar merata, laksana api makan lalang. Kadang­kadang orang yang jujur dapat terjebak ke dalam pemfitnahan itu karena pengaruh "bisik-desus" sehingga tidak dapat menimbang. Dalam ayat ini diberikan Tuhan ajaran agar orang yang beriman berfikir tenang.

Dipandang sepintas lalu amatlah buruknya hal ini, tetapi kalau direnungkan lebih men­dalam, ada pula hikmat tertinggi yang membawa kebaikan. Siti Aisyah memang dihormati selama ini, karena suaminya Rasulullah dan ayahnya pem­bantu utama Rasulullah. Tetapi meskipun Nabi dan ayahnya orang-orang yang utama, belum jelas apakah dia orang yang mempunyai peribadi sendiri pula yang menyebabkan dia utama karena keutamaannya sendiri. Berapa banyak orang "turut besar" karena ayahnya orang besar atau suaminya orang besar, padahal dirinya sendiri tidak ada harga apa-apa. Dengan 15 ayat pembelaan yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah membela Aisyah, teranglah bahwa Aisyah besar bukan karena suaminya Nabi dan ayahnya ummat Nabi yang utama saja, dia sendiri pun besar.

Orang-orang yang terbawa-bawa oleh gelombang fitnah, sebagai Hasan bin Tsabit dan Misthah mendapat hukuman menurut undang-undang yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu didera 80 kali. Apa boleh buat, hukum mesti berjalan, walaupun Hasan dikenal seorang pujangga, bergelar "Penyair Nabi" yang di saat-saat penting ketika menghadapi musuh, atau menyambut utusan telah mempergunakan keahliannya bersyair, Dan selepas beroleh hukuman itu kedudukannya dalam masyarakat Islam diperbaiki kembali. Pe­kerjaan-pekerjaan penting diserahkan kepadanya. Bahkan setelah Rasulullah wafat, Hasan duduk dalam panitia pengumpul al-Quran.

Di dalam ayat ini disebutkan bahwa yang jadi pemegang peranan besar dalam penyebaran berita bohong itu, atau "biang keladi"nya akan diberikan hukuman yang berat pula. Orang itu ialah Abdullah bin Ubay. Tetapi dalam kenyataan Abdullah bin Ubay tidak dihukum, tidak dirajam. Mengapa demikian?

Kalau orang fikirkan betapa kompak teguhnya masyarakat Islam ketika itu, akan maklumlah orang bahwa tidak dirajamnya Abdullah bin Ubay adalah hukuman yang amat berat baginya. Dia dipandang sebagai "orang lain", dia tidak dipercaya lagi, dia tidak dibawa sehilir semudik lagi, sehingga lantaran dia tidak dihukum, padahal Rasulullah mempunyai cukup wibawa buat menghukumnya, adalah satu pukulan batin yang amat besar baginya.

Hanya orang Mu'min yang mengenal rahasia ini.

Ayat 12 )
Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang­orang yang beriman, baik laki laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita itu adalah bohong belaka?

لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَ الْمُؤْمِناتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْراً وَ قالُوا هذا إِفْكٌ مُبين

"Alangkah baiknya setelah mendengar berita itu, berbaik sangka laki-laki yang beriman, dan perempuan yang beriman kepada diri mereka, dan mereka langsung berkota: "Ini adaloh bohong yang songat nyata." (ayat 12).

Dalam ayat ini diberikan tuntunan hidup bagi orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan agar mereka berbaik sangka kepada saudaranya Mu'min. Bahkan hendaklah orang-orang yang beriman itu memandang saudaranya sebagai dirinya sendiri. Buruk sangka kepada sesama Islam, apalagi sesama mu'min tidak mungkin kejadian dalam masyarakat Islam. Baik sangka adalah salah satu akibat daripada iman. Dan teman harus dipandang sebagai diri sendiri.

Mengapa sampai dikatakan bahwa saudaramu itu adalah dirimu? Tafsir ini jika dimasukkan dalam rangka Ilmu Jiwa adalah dalam sekali. Jika terdengar tuduhan buruk kepada seseorang, terutama seseorang sebagai Siti Aisyah itu, hanya orang yang tidak beriman saja yang akan timbul goncang hatinya karena pengaruh khabar itu. Adapun orang yang beriman tidak segera menerimanya, spontan serta-merta dia akari menolak. Dikaji terlebih dahulu peribadi Aisyah sendiri, perempuan muda yang selama ini jujur belum cacat namanya, ghafilat dan muhshanat, bersuami seorang manusia besar, Muhammad s.a.w. dan anak seorang pejuang Islam yang besar, Abu Bakar, yang sejak Islam dipancangkan di muka bumi ini, dialah orang pertama yang tegak berdiri di samping Nabi.

Ibu Aisyah sendiri pun tidak ada terkenal cacat namanya sejak zaman jahiliyah sampai ke zaman Islam. Orang mungkin dapat berbuat dosa kecil (shagaair) karena insan terjadi dari air dan tanah, tetapi orang yang beriman, akan sengaja berbuat dosa besar (kabaair), yaitu zina, maka jiwa seorang Mu'min serta-merta akan menolak berita itu. Karena hal itu diukurnya dengan dirinya sendiri pula.

Bandingkanlah hal ini dengan tuduhan yang ditimpakan orang kepada Maryam Albatul, Ibu Nabi Isa `alaihis-salam. Tiba-tiba dia sudah beranak saja padahal dia masih dara, maka orang-orang yang melihat kenyataan itu, karena imannya masih mengakui kesucian Maryam berkata, sebagai yang diterangkan Tuhan dalam Surat Maryam ayat 28.
"Hai saudara perempuan . Harun, kami mengenal ayahmu tidaklah seorang jahat dan ibumu pun tidaklah seorang perempuan yang dikenal buruk."
Adakah engkau orang beriman? Kalau engkau jawab: "Ada!", maka tidak mungkin engkau berfikir lain. Engkau akan menjawab: "Khabar itu bohong."

Untuk menjadi perbandingan hendak kita kisahkan satu kisah yang ter­hadap pada penulis Tafsir ini sendiri. Pada tahun 1952 dia melawat ke Amerika selama 4 bulan. Di satu kota besar, kalau tak salah San Fransisco bertemulah seorang kawan lama yang sama datang dari Indonesia. Kawan itu berkata sambil bergurau: "Sudah pernahkah saudara selama di Amerika pelesir dengan wanita Amerika?" Dia menjawab: "Belum pernah dan tidak pernah, Insya Allah!" Kawan itu berkata lagi: "Ah bohong. Saya tidak percaya." lalu dia men­jawab: "Kalau saudara tidak mau percaya, apakah yang akan saya katakan lagi."

Niscaya kawan itu tidak juga akan percaya, selama dia masih mengukur orang lain dengan dirinya. Dan kalau dia menjadi seorang Mu'min, dia pun akan percaya jawaban itu, sebab dia pun mengukur dengan dirinya.

Satu kisah lain pula. Seorang pemuda naik Haji ke Makkah, lalu pulang dan berjumpa pula dengan Penulis Tafsir ini. Dengan sedikit sikap sombong dia berkata: "Sekarang saya sudah tahu, di Makkah pun ada perempuan lacur."

Lalu Penulis Tafsir ini menjawab: "Satu keganjilan, Saudara naik Haji ke Makkah, di sana Saudara bertemu dengan perempuan lacur. Saya sudah ke negeri Belanda, ke Amerika, ke Australia dan ke Paris, namun saya tak bertemu perempuan lacur."

Orang yang tidak beriman percaya kepada berita yang pertama, dan orang yang beriman percaya kepada berita yang dibawakan oleh yang kedua itu. Sebab masing-masing orang mengukur orang lain dengan dirinya.

Oleh sebab itu maka salah satu prinsip pendirian Islam ialah:

"

Hendaklah berbaik sangka terhadap sesama Islam. "

Ayat 13
Mengapa mereka menuduh tetapi tidak mengemukakan empat orang saksi; kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu, mereka adalah pembohong belaka dalam pandangan Allah

لَوْلا جاؤُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكاذِبُون"

Mengapa dalam hal ini mereka tidak mengemukakan empat orang saksi? Kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu maka di sisi Allah adalah mereka pembohong belaka." (ayat 13).

Di sini nampaklah bahwa tidak boleh murah-murah menjatuhkan tuduhan: Tuduhan yang tidak beralasan hanyalah membawa kekacauan dan fitnah. Mu'min sejati tidaklah sudi menjadi tukang fitnah.

Di sisi Allah adalah mereka pembohong belaka. Tetapi di sisi si munafik, bohong itulah yang mereka benarkan dan yang benar, itulah yang mereka bohongkan. Sekarang engkau hendak menuruti pendirian Allah atau menuruti pendirian orang-orang munafik?

( 14 ) Kalau bukanlah kemurahan Tuhan Allah dan kasih rahmat­Nya kepada kamu di atas dunia ini dan di akhirat kelak, niscaya kamu akan ditimpa oleh azab yang amat besar karena berita yang kamu siarkan itu.

وَلَوْلا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فيما أَفَضْتُمْ فيهِ عَذابٌ عَظيمٌ


"Dan kalau tidaklah anugerah Tuhan dan rahmatNya kepada kamu di dunia dan di akhirat niscaya azab siksa besarlah yang akan ditimpakan Tuhan kepadamu karena penyebaran berita bohong itu." (ayat 14).

Dapatlah dirasakan sendiri di dalam zaman moden ini apa intisari ayat ini. Dalam satu masyarakat yang teratur, keamanan dan ketenteraman umum wajib dijaga. Dan di samping itu kehormatan Kepala Negara wajib pula dipelihara dan dibela. Adalah suatu dosa besar, suatu perbuatan yang amat merusak apa­bila maruah Rasulullah, Nabi dan Rasul, Pahlawan dan Pemimpin, pembentuk Agama dan masyarakat Agama, diganggu ketenteramannya dengan membuat tuduhan demikian rendah terhadap kepada isterinya.

Adalah suatu perbuatan yang sangat rendah dan mengacau ketenteraman umum jika kehormatan diri seorang pejuang besar, Abu Bakar, dijadikan permainan mulut dengan mem­perkatakan buruk bagi anak perempuannya yang dengan penuh rasa cinta dan hormat telah diserahkannya menjadi isteri Rasulullah. Adalah suatu dosa besar menuduh buruk kepada perempuan suci, dan lebih besar lagi dosa itu jika di­hadapkan kepada isteri Nabi dan anak pejuang besar Islam. Tetapi kurnia Tuhan masih ada, rahmatNya masih meliputi alam, sebab itu baru pengalaman pertama. Dan dengan Wahyu-wahyu yang demikian keras. dapatlah menjadi pengajaran buat seterusnya.

Bagi kita di zaman moden hal ini pun menjadi perbandingan pula. Kita menegakkan demokrasi , kebebasan menyatakan perasaan dan fikiran. Tetapi demokrasi yang menjamin keselamatan dunia adalah demokrasi yang timbul dari budi luhur. Hasad, dengki, benci dan dendam yang ada dalam batin yang kotor, bisa juga memakai alasan "demokrasi" untuk melepaskan hawanafsu bencinya menyinggung kehormatan seseorang. Maka penguasa pun berhak membungkem demokrasi yang diartikan dengan salah itu.

Ayat 15
Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang samasekali tidak kamu ketahui; kamu sangka bahwa cakap­cakap demikian perkara kecil saja, padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ تَقُولُونَ بِأَفْواهِكُمْ ما لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَ هُوَ عِنْدَ
اللهِ عَظيم

"Seketika kamu sambut berita itu dengan lidahmu, don kamu katakan dengan mulutmu, perkara yang sebenamya tidak kamu ke:ahui duduknya, dan kamu sangka bahwa itu perkara kecil, padahal di sisi Allah dia perkara besar." (ayat 15).

Ayat ini mengandung bahan yang amat kaya untuk mengetahui apa yang dinamai "Ilmu Jiwa Masyarakat" atau "Mass Psychologie", Tukang propokasi menyebarkan khabar-khabar bohong, di zaman perang dahulu dinamai "Radio Dengkul". Tidak tentu dari mana pangkalnya dan apa ujungnya.

Disambut dengan lidah saja , sambut-menyambut , lidah ke lidah , dan diberi nafas buat "menceknya" kata orang sekarang. Kadang-kadang timbullah kebingungan dan panik. Orang-orang yang hendak dirugikan dengan menyebarkan berita itu kadang-kadang tidak diberi kesempatan berfikir, sehingga dia sendiri pun kadang-kadang jadi ragu akan kebenaran pendiriannya. Orang-orang yang lemah jiwa, yang hidupnya tidak mempunyai pegangan mudah terjebak kepada propokasi yang dernikian.

Tetapi orang-orang yang masih sadar, karena teguh persandarannya kepada Tuhan, hanya sebentar dapat dibingung­kan oleh berita itu. Di sini nampaklah kebesaran peribadi Aisyah. Dia yakin bahwa dia tidak salah. Demi seketika ayat turun membersihkannya dari tuduhan yang nista itu, ibunya menyuruhnya berdiri untuk mengucapkan terimakasih kepada Nabi, namun dia tidak berkocak. Dia berkata dengan tegas: "Tidak, anakanda tidak hendak berdiri mengucapkan terimakasih kepada Rasulullah, tetapi anakanda hendak menyampaikan puji-puja langsung kepada Allah, sebab Allahlah yang membersihkan anakanda dari tuduhan."

Memanglah dia berhak mendapat julukan "Ummul Mu'minin", ibu dari sekalian orang yang percaya. Adapun si lemah yang tidak berpendirian, bisalah diombang-ambingkan oleh berita itu, menjadi keinginan yang amat buruk, bila bertemu satu sama lain, mempercakapkan keburukan orang lain. Karena tabiat (instink) ingin tahu pada manusia, ingin pula mengemukakan berita ganjil, sehingga menjadi "rahasia umum". Disangka perkara mudah, padahal perkara besar.

Sesudah itu maka di ayat berikut (ayat 16) sekali lagi Tuhan memberikan pedoman hidup bagi orang beriman.

Ayat 16
Alangkah baiknya ketika kamu mendengar berita itu kamu kata­kan saja: Tidak sepatutnya kami membicarakan berita bohong ini. Amat Suci Engkau ya Tuhan, berita ini adalah bohong besar belaka !

وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ ما يَكُونُ لَنا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهذا سُبْحانَكَ هذا بُهْتانٌ عَظيم

"Mengapa ketika kamu menerima berita itu tidak kamu katakan saja: "Tiada sepatutnya bagi kami akan turut memperkatakan hal itu. Amat Suci Engkau Tuhan, ini adalah suatu kebohongan besar." (ayat 16)

Tidak sepatutnya bagi kami, artinya bagi orang yang beriman terbawa rendong ke dalam kancah kerendahan budi. Hidup Muslimin mempunyai pegangan teguh, mempunyai apa yang di zaman moden disebut "kode" dan "etik".

Orang yang heriman, lidahnya berbicara dengan penuh tanggungjawab. Dia mempunyai kepercayaan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati sanu­bari , semuanya akan bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Semua perbuatan dan perkataannya tercatat oleh kedua Malaikat, Raqib dan 'Atid.

Memang berat menegakkan budi dalam dunia ini dan berat beban menjadi orang Islam. Pagar budi, membatasi kita jangan berlaku curang dalam hidup. Jika si munafik, tidak ada yang mengontrolnya buat membikin hasutan dan fitnahan, namun kita dijaga dan dipelihara oleh ayat-ayat Tuhan agar jangan berbuat begitu.

Abraham Lincoln, meninggalkan pesan kata hikmat yang dalam: "Suatu kedustaan bisa laku dalam satu masa untuk satu golongan. Tetapi satu ke­bohongan tidak bisa laku untuk segala masa dan untuk segala golongan." Kemudian itu Tuhan bersabda:

(17) Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan meng­ulangi lagi perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui beriman.

يَعِظُكُمُ اللهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَداً إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنينَ

"Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan mengulangi lagi perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui ber­iman. " (ayat 17).

Cukuplah hal yang sekali ini buat menjadi pengalaman bagi kamu. Jangan­lah terulang lagi yang kedua kali dan yang seterusnya. Karena perbuatan begini tidak mungkin timbul dari orang yang beriman, kalau tidak karena bodoh clan tololnya. Orang yang beriman tidaklah akan telap oleh propokasi. Penyiar khabar nista tidak mungkin orang yang beriman. Penyiar khabar dusta sudah pasti orang yang munafik atau busuk hati, karena maksud yang tertentu, dan yang sanggup menerimanya hanyalah orang yang goyang imannya.

Kamu senantiasa wajib waspada, karena kesatuan imanmu tidak mungkin dirusakkan dari luar, tetapi hendak diruntuhkan dari dalam. Kaum munafikin tidak senang hati melihat gemilang jaya Nabi Muhammad dengan perjuangannya: Segala persekongkolan hendak menentang Nabi telah mereka coba. Semuanya gagal. Jalan satu-satunya buat melepaskan sakit hati ialah mengganggu perasaannya , menuduh isterinya berbuat serong. Sekarang ayat-ayat ini adalah Kurnia ilahi dan RahmatNya, cara kasarnya ialah bahwa "Tuhan turun tangan" membersih­kan nama Aisyah.

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
    Find reviews and 안산 출장샵 information for Borgata Hotel Casino & Spa in Atlantic City. Hotel? ➤ Book 속초 출장안마 online INR 이천 출장샵 11 OFF! deal and discounts with 진주 출장샵 lowest price on Hotel 거제 출장마사지

    BalasHapus